Sabtu, 23 April 2011

Tak Adakah Jalan Keluar?

John Zerzan

Agrikultur mengakhiri suatu periode panjang dari keberadaan umat manusia yang secara luas (keberadaan umat manusia-penj) ditandai dengan kebebasan/kemerdekaan dari kerja, alam yang tidak dieksploitasi, kesetaraan dan otonomi gender, serta tidak adanya kekerasan yang terorganisir. Agrikultur mengambil banyak dari bumi ketimbang apa yang ia berikan pada bumi dan ini merupakan pondasi dari kepemilikan pribadi. Agrikultur melingkupi kontrol, ekploitasi, pembangunan hirarki dan kebencian. Chellis Glendinning (1994) menggambarkan agrikultur sebagai suatu ‘trauma’ yang telah merusak jiwa manusia, kehidupan sosial, dan biosfer.

Namun agrikultur/domestikasi tidaklah muncul dengan tiba-tiba, 10.000 silam. Kemungkinan terdekatnya, adalah suatu titik kulminasi dari adaptasi yang sangat lambat pada pembagian kerja dan spesialisasi yang dimulai secara sungguh-sungguh di zaman Paleolitik Tertinggi, kira-kira 40.000 tahun yang lalu. Proses semacam ini adalah apa yang dibalik Adorno dan Horkheimer istilahkan sebagai “instrumental reason” dalam “Dialektika Pencerahan” mereka. Meskipun masih dipuji sebagai prakondisi bagi “objektivitas,” alasan manusia tidaklah netral. Entah bagaimana hal itu berubah, dengan dampak yang menghancurkan: alasan kita memenjarakan sisi kemanusian kita yang sebenarnya saat menghancurkan alam. Bagaimana cara bertanggung-jawab pada kenyataan bahwa aktifitas manusia telah menjadi sangat bertentangan dengan manusia itu sendiri, seperti yang dilakukannya pada semua spesies di dunia? Sesuatu telah mulai membawa kita ke arah negatif sebelum agrikultur, stratifikasi kelas, negara dan industrialisme menginstitusionalkan kesalahannya.

Hak ini adalah alasan yang salah, yang menginterpretasi realitas sebagai penggabungan atau peleburan instrumen-instrumen, sumber daya, dan alat-alat, membuat dominasi menjadi sesuatu yang lebih buruk yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sama halnya dengan teknologi, yang alasannya berreinkarnasi atau termaterialkan setiap saat, alasan mengenai “netralitas’ teknologi telah salah dari awal. Sementara itu, kita belajar untuk menerima kondisi kita saat ini. Ini adalah ‘sifat manusia’ yang “kreatif,” masuk ke dalam bagian yang terus berulang.

Pembagian kerja memberikan kekuasaan yang efektif bagi beberapa orang, pada saat yang sama membatasi atau mereduksi segala cakupannya. Hal ini bisa dilihat dalam pembuatan seni yang sama halnya seperti dalam inovasi-inovasi teknologikal. Kerja yang sebenarnya dari para individu-individu telah jelas terlihat pada seni atau pun ukiran gua yang paling awal, dan spesialisasi keterampilan adalah suatu aspek esensial dari perkembangan masyarakat yang ‘kompleks’ (atau bisa dikatakan terstratifikasi) saat ini. Penetapan peran-peran memudahkan suatu pemutusan kualitatif pada bentuk sosial manusia yang sudah berlangsung sejak lama, yang jelas-jelas terjadi hanya dengan periode yang singkat. Setelah dua atau tiga juta tahun mode kehidupan egalitarian foraging (Pemburu dan Pengumpul), hanya dalam 10.000 tahun, secara drastis menurun menjadi cara hidup yang beradab. Sejak saat itu, percepatan kerusakan bagian sosial dan ekologikal terus menerus terjadi.

Hal ini juga menarik bahwa seberapa lengkapkah pengalaman sebuah peradaban pada tingkatan pertamanya. K. Aslihan Yener’s dalam Domestication of Metal (2000) mendiskusikan industri yang ‘kompleks’ dalam peradaban awal manusia, pada zaman perunggu awal. Ia menggambarkan organisasi serta manajemen pada tambang dan peleburan timah di Anatolia, yang dimulai pada 8.000 tahun sebelum masehi. Bukti arkeologikal ini jelas menunjukkan bahwa erosi, polusi dan penebangan hutan merupakan konsekuensi yang logis, seperti yang terjadi pada awal peradaban yang banyak terdapat di Timur-Tengah.

Dengan peradaban, bagaimana hal itu adalah bagaimana ia harus selalu terjadi. Novel Russell Hoban’s (1980), Riddley Walker, menyediakan analisis yang tajam dalam logika peradaban. Narator dalam novel ini mengidentifikasi Apa yang biasa disebut kemajuan sebagai kekuasaan:
“Ia muncul dihadapanku dan aku tahu bahwa kekuasaannya takkan pernah menghilang. Ia ada dan akan terjadi. Kekuasaan menginginkan anda mendatanginya dengan kekuasaan. Kekuasaan menginginkan apa yang pernah terjadi untuk terjadi lagi. Kekuasaan menginginkan segala hal yang bergerak ke depan.”

Sifat dari proyek peradaban sudah jelas dari awalnya. Semenjak kemunculan produk agrikultur yang sangat cepat, intensifikasi dominasi menjadi mantap dan pasti. Hal ini menjelaskan bahwa monumen pertama dari manusia adalah bersamaan dengan tanda pertama dari domestikasi (R. Bradley dalam Mither, 1998). Linearitas yang menyedihkan dari penghancuran peradaban dunia alami telah disela oleh gejala dari penghancuran diri sendiri dalam bidang sosial, dalam bentuk peperangan. Dan ketika kita mengingat kembali mengenai B.D. Smith (1995) bahwa domestikasi adalah “penciptaan bentuk baru dari tumbuhan dan hewan,” hal ini menjadi jelas bahwa keahlian teknik genetik dan kloning hanyalah merupakan penyimpangan aneh dari norma.

Perbandingan dengan kehidupan beribu generasi Pemburu-Peramu merupakan hal yang mengejutkan. Tidak ada perselisihan bahwa para leluhur ini berbagi dalam pusat kehidupan mereka. Melalui literatur antropologi, berbagi dan merasa sama dalam hak merupakan sinonim dengan organisasi sosial pemburu-peramu, dikarakterisasikan sebagai gerombolan dari 50 atau beberapa orang. Dengan ketidakhadiran mediasi atau kewenangan politik, masyarakat menikmati pertalian ekspresif yang kuat berhadapan satu sama lainnya dan dalam kerukunan bersama alam.
Hewlett dan Lamb (2000) mengeksplorasi tingkat kepercayaan dan kasih dalam kelompok pemburu-peramu Aka di Afrika Tengah. Kedekatan fisik dan emosional antara anak-anak dan remaja Aka, merupakan hubungan yang erat dalam orientasi mereka terhadap dunia. Sebaliknya, masyarakat Aka melihat lingkungan mereka sebagai hal yang baik dan mendukung, karena ikatan yang tidak tertutup di antara mereka. Colin Turnbull mengamati realitas yang serupa dengan Mbuti di Afrika, yang biasa menujukan salamnya pada “Hutan Ibu, Hutan Ayah.”

Agrikultur merupakan model pertama dari segala bentuk otoritarianisme sistematik yang mengikutinya, termasuk kapitalisme dan penginisiasian penaklukan terhadap wanita. Perkampungan pertanian awal memiliki jumlah “sebanyak 400 orang” (Mithen, 2000). Kita tahu bahwa perkembangan populasi bukanlah merupakan penyebab dari agrikultur tetapi merupakan hasil darinya; saran-saran semacam ini menjadi dasar dinamis dalam masalah populasi. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat diorganisir pada jumlah manusia yang betul-betul merasa menjadi korban bagi kepentingan domestikasi. Hal ini mungkin berarti bahwa kita hanya bisa menyelesaikan masalah kelebihan penduduk dengan menghapus akar permasalahan yang menjadi dasar pemisah satu dengan lainnya. Dengan datangnya domestikasi, reproduksi tidak hanya dihargai secara ekonomi; tetapi juga ditawari kompensasi atau konsolasi dari apa yang telah dihapuskan oleh peradaban.

Di tengah-tengah pen-standarisasi-an, efek disipliner dari sistem teknologi dan kapital masa kini, kita dihadapkan pada rintangan yang belum pernah dihadapi sebelumnya tentang imaji dan representasi. Simbol telah secara luas berkumpul dengan yang nyata dan yang langsung, baik dalam interaksi perseorangan setiap hari dan dalam percepatan akan punahnya alam. Hal ini secara umum diterima sebagai hal yang mutlak, terutama semenjak menerima diktat kebebasan bahwa pembuatan simbol merupakan hal yang utama, melukiskan kualitas dari manusia. Kita belajar semenjak kecil bahwa semua tingkah laku dan budaya bergantung pada manipulasi simbol; karakteristik inilah yang membedakan kita dari hewan.

Tetapi melihat lebih dekat pada Homo di antara kita, di banyak milenia menantang “kewajaran” dari dominasi simbol dalam hidup kita. New discoveries membuat berita utama dengan frekuensi yang meningkat. Para arkeolog menemukan bahwa lebih dari jutaan tahun yang lalu, manusia sama pintarnya dengan kita–disamping itu fakta bahwa bukti paling awal pada penanggalan aktifitas simbolik (arca, pahatan di gua, artefak, catatan waktu, dll) tercatat hanya pada 40.000 tahun yang lalu. Manusia menggunakan api untuk memasak sekitar 1.9 juta tahun yang lalu; dan membangun serta berlayar dengan kapal sekitar 800.000 tahun yang lalu!

Orang-orang ini pasti sangatlah cerdas; mereka tidaklah meninggalkan jejak nyata dari ide-ide simbolik. Demikian juga walau pun nenek moyang kita semenjak jutaan tahun yang lalu memiliki I.Q. untuk memperbudak sesamanya dan menghancurkan planet, tetapi mereka menahan diri untuk melakukan hal tersebut. peradaban menganjurkan membuat usaha bersama untuk menemukan bukti bahwa simbol digunakan pada awal masa, yang diparalelkan dengan usaha yang gagal dalam dekade terkini untuk menemukan bukti yang akan menjatuhkan paradigma baru antropologi mengenai harmonisasi dan keadaan yang baik dari pra-agrikultur. Sejauh ini, penelitian mereka belum membuahkan hasil.

Terdapat celah waktu yang cukup besar antara sinyal kapasitas mental dan sinyal simbolis. Ketidakcocokan ini membuat keraguan yang serius pada kecakapan definisi manusia sebagai pembuat simbol. Kecocokannya antara permulaan gambaran dan permulaan dari apa yang tidak sehat mengenai spesies kita terlihat lebih penting. Pertanyaan mendasar lebih banyak merumuskan tentang diri mereka sendiri.

Seperti satu pertanyaan yang menyangkut gambaran alam. Foucault memerlihatkan bahwa penggambaran selalu mengikutsertakan kekuasaan. Mungkin terdapat hubungan antara representasi dan kekuasaan yang tidak seimbang tercipta ketika pembagian kerja mengambil alih aktifitas manusia. Pada kasus yang sama, sangat susah untuk melihat sistem sosial yang besar muncul dalam ketiadaan budaya simbolis. Pada tahap minimum, hal ini memang tak dapat dipisahkan.

Jack Goody (1997) menyebutnya “penekanan terus-menerus pada representasi”. Sejalan dengan impuls yang mudah dalam berkomunikasi, apakah tidak ada hal positif yang juga terjadi? Pada seluruh generasi sebelum peradaban, dongeng menguasai pikiran Pemburu-peramu–termasuk dalam berkomunikasi–akan tetapi mereka tidak menemukan simbol mengenai hal tersebut. Untuk mewakili realitas termasuk pergerakan menuju kesempurnaan, sistem yang tertutup, yang mana bahasa merupakan contoh yang nyata dan mungkin contoh paling asli. Dari mana hal ini akan menciptakan sistem, menamakannya serta menghitungnya? Mengapa dimensi yang mencurigakan ini terlihat seperti alasan instrumental, dengan inti yang secara esensial mendominasi?

Bahasa secara rutin dilukiskan sebagai hal yang alami dan juga merupakan bagian yang tak dapat dielakkan dari evolusi kita. Seperti pembagian tenaga kerja, ritual, domestikasi dan agama? Menyelesaikan kemajuan dan kita dapat melihat akhir dari biosfer serta alienasi total terlihat seperti “alami” dan “mutlak”. Hal ini dapat merupakan jalan keluar dari tatanan simbolik yaitu pertanyaan yang menjadi penekanan.

“Pada awalnya adalah kata”–pengumpulan ranah simbolik. Setelah kebebasan dalam Taman Eden dicabut, maka Adam menamakan hewan dengan nama hewan. Dengan cara yang sama, Plato mempertahankan bahwa ‘kata’ yang menciptakan benda. Terdapat satu momen penyesuaian linguistik, dan semenjak itu dalam mengategorikan bingkainya ditentukan dari seleruh fenomena. Penyesuaian ini berusaha untuk mengesampingkan “dosa yang sebenarnya” dari bahasa, yang merupakan pemisahan antara bercakap dan dunia, kata-kata dan benda-benda.
Banyak bahasa dimulai dengan kayanya kata kerja, tetapi secara gradual tidak dilaksanakan melalui banyaknya imperialisme dari kata benda. Hal ini memparalelkan pergerakan pada pembendaan bumi dengan lebih mantap, berfokus pada objek dan tujuan-tujuan sebagai pengeluaran dari proses. Dengan gaya yang sama, naturalisme yang hidup dari seni pahatan di dinding gua memberikan jalan bagi kemiskinan, penyesuaian estetika. Pada kedua kasus, deal simboliknya dipermanis dengan janji kesempurnaan yang sangat menggiurkan, tetapi pada setiap kasus, hasil dalam jangka panjangnya adalah mematikan. Mode-mode simbolis mungkin dimulai dengan kesegaran dan vitalitas, tetapi pada akhirnya memunculkan kembali kemelaratan mereka yang sebenarnya, logika yang sangat tua dari mereka.

Kualitas bawaan ketajaman sensual dari janin manusia mengalami atrofia semenjak mereka tumbuh dan berkembang dalam interaksi dengan budaya simbolik yang berlanjut pada infiltrasi dan monopoli pada kebanyakan aspek dari kehidupan kita. Beberapa yang tersisa yang tidak termediasi, sebenarnya masih bertahan. Permainan cinta, hubungan kedekatan, tercelup dalam sifat alami, serta pengalaman kelahiran dan kematian membangkitkan pikiran sehat dan intelegensi kita, menstimulasi suatu kelaparan yang tidak biasa (tak dikenal). Kita merindukan sesuatu dibandingkan kekurangan, dunia tiruan dari representasi, dengan with its second-hand pallor.

Komunikasi masih terbuka pada apa yang menghidupkan kilasan terdahulu, secara non-verbal, antar manusia. Segala kemarahan, saluran-saluran yang terkondisikan mungkin akan dibuang, karena kita tidak bisa hidup dengan apa yang tersedia. Sebagaimana tingkatan penderitaan, kehilangan, dan kekosongan meningkat, aparat yang berkuasa memompa lebih banyak ketidakpuasan dan kebohongan-kebohongan.

Merujuk pada telepati, Sigmund Freud menulis dalam karyanya yang berjudul New Introductory Lectures on Psychoanlysis, “Seseorang telah terdorong untuk curiga bahwa ini adalah orisinil, metode kuno dalam komunikasi.” Freud tidaklah merayakan kecurigaan ini, dan terlihat takut terhadap kelangsungan hidup manusia yang disertai oleh dinamika non-kultural. Lauren van der Post (The Lost World of the Kalahari, 1958) berhubungan dengan beberapa pengamatan mengenai komunikasi telepatik, melalui jarak, masyarakat yang dikenal dengan nama “Bushmen”. M. Pobers dan Richard St. Barbe Baker, juga menulis pada tahun 1950, menyaksikan telepati oleh masyarakat pribumi sebelum mereka dikolonisasikan oleh peradaban. Saya menyebutkan hal ini sebelumnya sebagai satu pandangan mengenai realita dari non-simbolis, koneksi langsung yang sebenarnya telah ada sejak lama, dan hal ini dapat dihidupkan kembali di antara reruntuhan representasi.

Bahasa dan seni mungkin sebenarnya telah muncul dan menyatu dalam ritual, inovasi budaya bermaksud menjembatani pemisahan antara manusia dengan dunianya. Istilah “animisme” sering digunakan, bahkan terkadang direndahkan, untuk menjelaskan suatu kepercayaan bahwa sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan manusia dan bahkan objek-objek yang tak memiliki hunian dengan “roh-roh”. Sama halnya istilah “anarkisme” adalah gambaran singkat dari penggambaran anarki, sudut pandang atau keadaan yang menolak hirarki, “animisme” gagal menangkap kualitas transformatif dari kesadaran yang dibagi bersama. Dalam pembahasan mengenai anarki, terdapat kesadaran untuk hidup bersama dalam kesetaraan dengan manusia lain yang mengharuskan penolakan terhadap segala bentuk dominasi, termasuk representasi kepemimpinan dan perwakilan politik. “Animisme” merujuk pada perluasan kesadaran dalam bentuk kehidupan lainnya dan bahkan “memercayai” bahwa ada kehidupan dalam bebatuan, awan, dan sungai. Fakta bahwa tidak ada kata yang berhubungan dengan animisme, sejalan dengan anarki, merupakan indeks atau daftar petunjuk mengenai bagaimana seberapa jauh jarak kita dari kesadaran ini. Green Anarchy secara eksplisit mengatakan bahwa anarki haruslah merangkul komunitas yang ada dalam kehidupan, dan dalam pengertian ini mengambil langkah menuju pembangunan kembali kesadaran ini.

Apakah manusia telah kehilangan kesadaran akan keterlibatannya pada komunitas hidup dengan kedatangan domestikasi, pembagian kerja dan agrikultur? Pembangunan monumen-monumen serta awal mula pengorbanan hewan dan manusia akan cenderung untuk mendukung hipotesis ini. Secara karakteristik, korban dari hal ini memegang tanggung jawab terhadap kemalangan dan penderitaan bersama, sementara alasan fundamental dari kehilangan komunitas menjadi tidak dikenali. Ritual yang termasuk “jumlah besar dari energi” (Knight in Dunbar, Knight and Power, 1999); juga sering disuarakan, dimultimediakan, emosional, dan berlebihan, memberi kesaksian pada rasa mendalam atas krisis yang mendasarinya.

Pergerakan dari animisme ke ritual memarelelkan transformasi hal-hal yang kecil, dari kelompok yang bertatap muka ke kelompok yang besar, yaitu masyarakat yang lebih kompleks. Budaya mengambil alih, dengan profesional ter-spesialisasi yang bertanggung jawab atas dunia yang kudus. Kerinduan akan perasaan sebenarnya mengenai kekerabatan dengan manusia lainnya serta keintiman yang egaliter dengan manusia lain tidaklah dapat diredakan dengan aktifitas ritual yang dikembangkan dalam sistem sosial hirarki. Kecenderungan ini memuncak dalam pengajaran mengenai agama-agama transeden, semenjak arti kehidupan kita di dunia terasa ada kejanggalan, kita seharusnya melekatkan harapan kita pada imbalan surgawi. Sebaliknya, seperti yang digambarkan Aka dan Mbuti di atas, perasaan yang menyatu dengan bumi serta semua penduduknya, dan perasaan bahagia serta eksistensi yang penuh arti, terlihat berjalan dengan baik ketika kita manusia hidup dalam egalitarian, kelompok yang saling bertatap muka.

Kembali pada bahasa, suatu persetujuan terhadap hal yang dangkal merupakan realita yang secara inheren tersingkap melalui bahasa–yang pada kenyataannya realita dengan jelas dimediasi oleh bahasa. Posmodernisme mengangkat hal ini dalam dua cara. Karena bahasa pada dasarnya merupakan sistem penunjuk diri, penegasan oleh posmodernisme, bahasa tidaklah sepenuhnya melibatkan peng-arti-an. Lebih jauh, hanya ada bahasa (sebagaimana hanya ada peradaban); tak ada jalan keluar dari dunia yang didefinisikan melalui permainan bahasa (dan domestikasi). Namun bukti arkeologi dan etnografi menunjukkan dengan jelas bahwa kehidupan manusia ada di luar representasi, dan tidak ada yang dapat menghalangi manusia untuk hidup seperti itu lagi—bagaimanapun dengan dengan kesalehan para posmodernis dalam penyesuaian diri mereka pada sistem, berdoalah agar hal ini tidak terjadi.

Tujuan dalam representasi pada “the society of spectacle” saat ini digambarkan dengan jelas oleh Guy Debord. Kita sekarang mengonsumsi imaji dari kehidupan: kehidupan telah beralih menjadi suatu bagian dari representasinya, sebagai spectacle. Pada saat yang sama semenjak teknologi menawarkan realitas virtual pada individu, ensemble media elektronik menciptakan komunitas virtual, simbol tahap lanjut dari kepasifan konsumsi dan keadaan yang tidak berdaya.

Tetapi neraca bagi tatanan yang berkuasa menunjukkan ramalan yang kacau. Untuk satu hal yang jelas, representasi dalam sektor politik bertemu dengan skeptimisme dan apatis yang similiar yang ditunjukkan melalui representasi secara umum. Pernahkah ada terdapat begitu banyak keluhan yang terus menerus mengenai demokrasi, dan dan juga dalam taraf kecil yang tertarik mengenai hal ini? Untuk mewakili atau diwakili oleh penurunan, pengurangan, baik dalam budaya simbolis maupun dalam kaitannya dengan kuasaan.

Demokrasi, tentu saja merupakan bentuk dari aturan. Partisipan anarki haruslah mengetahui mengenai hal ini, walaupun aliran kiri tidak mempunyai masalah dengan penguasaan. Para Anarko-sindikalis dan anarkis klasik lainnya gagal memertanyakan beragam institusi dengan lebih fundamental, seperti pembagian kerja, domestikasi, dominasi alam, kemajuan, masyarakat, teknologi, dll.

Mengutip kembali Riddley Walker, sebagai suatu penawar racun: “Saya dapat merasakan sesuatu tumbuh dalam diriku seperti gelombang laut yang mengatakan, HILANGKANLAH. Mengatakan, LUPAKANLAH, SATU-SATUNYA KEKUASAAN ADALAH KETIADAAN KEKUASAAN.” Inti dari anarki”.

Heidegger dalam Discourse on Thinking, memberikan nasehat bahwa sikap yang “terbuka terhadap misteri” menjanjikan “bidang dan dasar baru atas apa yang dapat kita pertahankan dan pikul dalam dunia teknologi tanpa dibahayakan olehnya. “Orientasi anti-otoritarian tidaklah terdiri dari sikap pasif, yang berubah hanyalah kesadaran kita. Malahan, teknologi dan kaki tangannya, budaya, haruslah dipertemukan dengan otonomi yang tegas dan penolakan yang melihat pada seluruh rentang waktu kehadiran manusia dan menolak seluruh dimensi keterkurungan dan penghancuran. TOTAL!!

Manually Translated | Konspirasi tinjabersayap [The Die Hardest Translator Of The World] (November 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar