Sabtu, 23 April 2011

Seize The Day

John Zerzan

Perubahan yang sangat cepat dari kehidupan modern lebih buruk dari pada yang dapat kita bayangkan. Metamorfosis semakin menjadi, mengubah tekstur kehidupan, bahkan keseluruhan rasa. Belum begitu lama, hal ini masih berupa modifikasi bagian; sekarang mesinlah yang mengumpulkan kita, merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita, dan tidak ada jalan keluar terhadap logikanya.

Kelanjutan yang stabil hanyalah yang terjadi pada tubuh dan hal ini bahkan menjadi sasaran dalam cara belum pernah terjadi. Menurut Ferudi (1997), kita sekarang menganut budaya gelisah yang mendekati keadaan panik. Wacana sesudah zaman modern menekankan pada artikulasi penderitaan, segi akomodasinya terhadap pentingnya kemajuan, merupakan penghancuran yang sistematik. Keunggulan dari kemunduran penyakit kronis membuat parallel pendinginan dengan erosi permanen terhadap semua yang sehat dan hidup dalam budaya industri. Kemungkinan penyakit tersebut dapat diperlambat pergerakannya, tetapi tidak ada pengobatan sepenuhnya yang dapat dipikirkan dalam konteks ini—yang menempatkan kondisi pada tempat pertama.

Kerinduan kita terhadap komunitas bukanlah hal yang lain selain kematian. McPherson, Smith-Lovin dan Brashears (American Sociological Review 2006) menyampaikan kepada kita 19 tahun yang lalu bahwa cirri khas orang Amerika memiliki 2 teman karib; sekarang jumlahnya tinggal dua. Penelitian nasionalnya juga menunjukkan bahwa setelah jangka waktu tertentu, jumlah orang tanpa satu orang teman pun atau yang percaya dengan diri sendiri meningkat tiga kali lipat. Daftar sensus menunjukkan peningkatan yang tajam pada orang yang lajang, ketika budaya teknologi dengan jaringan penghubung ini berkembang lebih terisolasi, sendiri, dan kosong.

Di Jepang “masyarakat tidak berhubungan sex” (Kitamura 2006) dan tingkat bunuh diri meningkat tajam. Hikikimori atau pengisolasian diri mendapatkan lebih dari berjuta generasi muda yang yang tinggal hanya di dalam kamarnya selama bertahun-tahun. Sementara budaya teknologi berkembang pesat, tingkat stress, depresi dan kekhawatiran pun juga meningkat.

Pertanyaan dan usulan menjadi arus dalam dunia ini hanyalah sebagai realitas, eksternal dan internal, membuat yang masuk akal. Negara kita sekarang, beralih pada bencana, memerlihatkan realitas dalam istilah yang jelas. Kita berada pada keadaan bentrok antara pertanyaan penting baru dan totalitas-peradaban global yang sama sekali tidak menyediakan jawaban. Dunia yang tidak menjanjikan masa depan, tetapi tidak memerlihatkan pengakuannya terhadap fakta ini, membahayakan masa depannya sendiri mengenai kehidupan, kesehatan, dan kemerdekaan dari seluruh makhluk hidup di bumi ini. Peranan peradaban selalu hilang dengan sia-sia di setiap kesempatan yang mereka persiapkan menjelang akhir hidup sebagaimana yang mereka tahu, dengan memilih untuk naik ke puncak dominasi.

Hal ini menjadi jelas bagi sebagian orang bahwa kedalaman krisis yang berkembang yang sama besarnya dengan ketidakmanusiaan bagaikan hanyalah ekosidal, batang pokok lembaga dari peradaban itu sendiri. Penghilangan kepercayaan mengenai masa pencerahan dan modernitas mewakili puncak dari kesalahan yang dikenal dengan nama peradaban. Tidak ada prospek dari golongan ini yang akan menurunkan yang telah didefinisikan dan dirawat, serta nampak seperti pendukung ideologi yang beragam dapat melihatnya sebagai fakta. Jika keruntuhan peradaban telah dimulai, prosesnya sekarang secara tidak resmi tetapi secara luas diperkiran bahwa mungkin merupakan dasar dari penolakan yang tersebar luas dari keadaan tertinggal dari totalitas yang memerintah. Memang, ketegaran dan penyangkalan mungkin mengatur tingkat perubahan budaya pada skala yang tidak dapat diprediksi, yang dapat dibuka dengan cepat.

Tentu saja, paradigma berubah dari kubu ini, tetapi sistem yang mudah diserang dan bercacat yang fatal ini tidak dapat dielakkan. Kemungkinan utama lainnya yaitu terlalu banyak masyarakat, dalam alasan yang sama (ketakutan, kelambanan, ketidakmampuan pabrik, dll) secara pasif menerima realita sebagai hal tersebut, sampai semuanya terlambat untuk berbuat sesuatu selain mencoba berhubungan dengan kegagalan. Hal ini patut diperhatikan bahwa kesadaran yang berkembang mengenai hal yang berubah menjadi hal yang salah, bagaimanapun dalam taraf permulaan dan beda dari yang lain, didukung oleh kedalaman, ketidaksenangan serta pada banyak kasus merupakan penderitaan yang akut. Keadaan inilah dimana kesempatan terletak. Dari perspektif baru yang berkembang inilah, kita menemukan bagaimana menghadapi apa yang sedang kita hadapi sebagai manusia, dan memindahkan rintangan pada tingakat kelangsungan hidup. Sekarang telah tiba masanya tuduhan besar-besaran terhadap peradaban dan massa masyarakat. Hal yang memungkinkan bahwa, dalam mode yang beragam, beberapa keputusan dapat melepaskan mesin pembunuh sebelum penghancuran dan penjinakkan menguasai semua hal.

Walaupun apa yang sebelumnya membantu kita dalam memahami keadaan terakhir kita, kita sekarang hidup dalam penundukkan yang nyata, pada skala yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Pembungkus teknologi – dunia yang menyebar dengan cepat menganjurkan pergerakan pada kontrol yang lebih dalam dari segala aspek kehidupan kita. Penaksiran Adorno pada tahun 1960 terbukti sekarang: “Pada akhirnya sistem akan mencapai titik - kata yang menyediakan isyarat sosial yaitu “integrasi” yang mana kepercayaan universal dari segala pergerakan dari semua pergerakan lainnya membuat perbincangan mengenai hubungan sebab akibat menjadi kuno. Merupakan hal yang omong kosong mencari penyebabnya dalam masyarakat monolitik. Hanya masyarakat itu sendiri yang menjadi penyebabnya.” (Negative Dialectics,p. 267).

Totalitas menyerap setiap “alternatif” dan terlihat sebagai hal yang tidak dapat diubah. Hal ini merupakan pembenaran dan ideologinya sendiri. Penolakan kita, keinginan kita untuk membongkar semua hal ini, merupakan pertemuan dengan fungsi argumen dan protes yang lebih sedikit. Respon paling bawah lebih kepada “Yes, pandangan anda bagus, betul, valid; tetapi kenyataan ini tidak akan menghilang begitu saja.

Tidak ada dari kemenangan terhadap hal yang tak berperikemanusiaan membuat dunia lebih aman, bukan hanya bagi spesies kita. Semua revolusi diperkuat hanya bagi mereka yang mendominasi dengan memperbaharuinya. Meskipun peningkatan dan penurunan bujukan politik yang beragam, hal ini selalu menciptakan kemenangan; sistem teknologi tidak mundur, mereka hanya meningkat. Kita telah bebas atau sejauh ini otonomi semenjak Mesin menuntut untuk berfungsi.

Sementara itu, penilaian idiotik berlanjut. “Kita seharusnya bebas menggunakan teknologi spesifik sebagai alat tanpa mengadopsi teknologi sebagai gaya hidup.” (Valovic 2000). “Dunia dibentuk melalui teknologi digital nyata pada tingkat yang kita pilih untuk memainkan permainan mereka.” (Downs 2005).

Sama dengan kekuatan mencengkram, dan beberapa ilusi mengenai bagaimana modernitas bekerja, Mesin menghadapi prospek yang makin buruk. Hal ini membentur fakta bahwa mereka yang mengatur organisasi dominan dari kehidupan tidaklah berusaha menjawab atau memproyeksikan hal positif. “Isu” yang paling menekan contohnya Global Warming diabaikan, dan propaganda mengenai Komunitas (pasar dengan pemisahan), Kebebasan (pengawasan total masyarakat), mimpi Amerika sangatlah salah bahwa hal ini tidak dapat diharapkan untuk ditangani secara serius.

Seperti yang dikemukakan Sahlin (1977), semakin rumit suatu masyarakat, semakin kecil kemungkinan mereka bisa menghadapi tantangan. Kekhawatiran umum dari setiap Negara adalah pada pemeliharaan; karena ketika kapasitas ini gagal, begitu pula kesempatan untuk negara bertahan. Ketika janji keamanan menurun, begitu pun dukungan yang nyata hilang. Banyak penelitian mengikutsertakan beragam ekosistem yang terlihat menderita lebih mendadak oleh malapetaka, dibandingkan keadaan biasa, yang merupakan penurunan yang dapat diprediksi. Peranan mekanismenya mungkin hanya menjadi subjek bagi perkembangan parallel.

Pada awalnya terdapat 2 ruangan untuk mengatur siasat. Pergerakan peradaban ditemani oleh katup yang aman: garis perbatasan. Ekspansi dengan skala yang besar dari kerajaan Romawi Suci ke arah timur selama abad 12-14, penyerbuan dari Dunia Baru sesudah 1500, pergerakan kearah barat di Amerika Utara selama akhir abad 19. Tetapi sistemnya menjadi “hipotek dalam menyusun pengumpulan berdasarkan cara tersebut” (Sahlins). Kita merupakan sandera, dan begitu pula keseluruhan rakitan hirarki. Keseluruhan sistem sibuk, selalu berubah terus-menerus; transaksi terjadi pada angka yang cepat pergerakannya. Kita telah sampai pada tahap dimana struktur bersandar pada hamper keseluruhan serangan yang lebih atau kurangnya diluar kontrolnya itu sendiri. Contoh utama yaitu pertolongan sebenarnya yang diberikan oleh rezim beraliran kiri di Amerika Selatan. Isunya tidak selalu berupa hasil dari ekonomi neo-liberal, tetapi kesuksesan aliran kiri ini dalam kuasanya terhadap pembangunan ibu kotanya selanjutnya, serta kelanjutan pribumi dalam orbitnya.

Tetapi taktik ini tidaklah lebih berat dibandingkan fakta dari keseluruhan kekerasan yang menempatkan masa depan kota teknologi pada resiko kematian. Nama dari krisis tersebut adalah modernitas itu sendiri, kesatuannya, berat kumulatifnya. Rezim apapun sekarang merupakan situasi dimana setiap “solusi” hanya bergantung pada masalah yang melanda. Teknologi yang lebih dan forsa koersif merupakan satu-satunya sumber untuk memaksanya kembali. “Sisi gelap” dari kemajuan memerlihatkan sebagai wajah yang pasti dari masa modern.

Para teoretis seperti Giddens dan Beck mengakui bahwa batasan luar dari modernitas telah dicapai, sehingga bencana tersebut sekarang merupakan karakteristik laten dari masyarakat. Dan juga mereka meminta pengharapan, tanpa memprediksi perubahan dasar, bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. Beck contohnya, mencari demokratisasi dari industrialisme dan perubahan tekhnologi – menghindar dengan hati-hati terhadap pertanyaan mengenai mengapa hal ini tidak pernah terjadi.

Tidak ada perdamaian, tidak ada pula akhir yang bahagia dalam totalitas ini, dan secara transparan hal ini salah untuk diklaim sebaliknya. Sejarah terlihat menghapuskan kemungkinan penyelamatan; hal ini tentu saja merusak apa yang sudah dilalui sebagai pemikiran kritis. Pelajarannya menekankan seberapa banyak yang harus diubah untuk membangun semangat yang baru dan asli. Tidak ada waktu untuk memilih; bidang atau dasar pergantian kehidupan tidak dapat diketahui dengan banyak cara, tanpa drama, tetapi pada efek yang sangat luas. Jika solusinya terdapat pada teknologi, hal ini hanyalah memperkuat peran dari dominasi modern; bagian utama dari tantangan yang menghadapi kita.

Modernitas telah menurunkan bidang yang mengizinkan aksi etis, memotong hasil yang berpotensi berhasil. Tetapi dalam kenyataan, menyerang kita dalam puncak krisis, menjadi lebih dekat dan bertubi-tubi. Berpikirlah mengenai semuanya, karena situasi ini merusak segalanya yang kita inginkan. Kita menyadari bahwa hal ini memang terserah pada kita. Bahkan kemungkinan keruntuhan dari struktur teknologi global seharusnya tidak memikat kita untuk jauh dari pengakuan mengenai potensi peran kita, tanggung jawab kita untuk menghentikan mesin penghancur. Kepasifan, seperti penaklukan sikap, tidak akan membawa pada pelepasan yang mendatang.

Kita semua terluka, dan secara bertentangan, pengasingan ini menjadi dasar dari peguyuban. Pertemuan dengan hal yang membuat trauma mungkin terbentuk, pertalian spiritual menuntut pemulihan. Karena kita masih bisa merasa akut, para penguasa kita tidaklah dapat beristirahat semudah yang kita lakukan. Kebutuhan kita terhadapa penyembuhan berarti bahwa sebuah penggulingan harus terjadi. Hal itu sendiri dapat selanjutnya mengobati. Hal seperti “lanjutkanlah”, dapat menciptakan malapetaka di setiap level. Masyarakat mencari tahu: bahwa hal yang sedang terjadi, kenyataannya, malapetaka.

Mellisa Holbrook Pierson (The Place You Love is Gone 2006) mengekspresikannya sebagai berikut: “Tiba-tiba hal itu menjadi sukses, yang anehnya sangat mudah untuk dipahami. Tidak dapat dielakkan bahwa kita menghadapi Big Goodbye. Hal ini resmi! Hal yang tidak mungkin patutlah untuk dipikirkan. Hal ini akhirnya nampak, setelah semua sejarah manusia yang ada dibelakang kita. Dalam lubang yang ketinggalan dari jiwa yang menderita anda merasakannya tiba, kehilangan rumah, lebih besar dari penyebab seseorang mengeluarkan air mata. Milik anda dan saya, tangisan pribadi, akan berkumpul menjadi tangisan massal….”

Kesengsaraan. Penyesalan. Inilah waktunya bagi kita untuk kembali ke masa dimana kita tidak pernah menyerah untuk menjadi sesuatu. “Terus meregangkan pada batas elastis sampai tidak bisa dibelokkan lagi,” dalam frasa Spangler.

Pemikiran masa pencerahan, sejalan dengan revolusi industri, dimulai pada akhir abad 18 di Eropa, saat modernitas dimulai. Kita menjanjikan kemerdekaan berdasarkan kontrol kesadaran terhadap takdir kita. Tetapi masa pencerahan mengklaim bahwa hal tersebut belumlah direalisasikan, dan keseluruhan proyek berubah menjadi penaklukan diri sendiri. Elemen dasarnya termasuk alasan, hak universal dan hukum mengenai sains dirancang secara sadar untuk membuang muatan pra-ilmiah, jenis mistik mengenai pengetahuan. Gotong royong yang mendukung cara hidup dikorbankan dalam nama kesatuan dan keseragaman, pemaksaan pola hukum terhadap kehidupan. Kant menekankan pada kemerdekaan terhadap aksi moral yang merupakan akar dari konteks ini, sejalan dengan program ahli ensiklopedi Perancis untuk mengganti keahlian tradisional dengan sistem teknologi yang terkini. Kant, yang sifatnya tidak lebih suci dari kategori pentingnya, dengan baik dibandingkan dengan universitas modern pada mesin industrial dan produknya.

Beragam pencerahan memerlihatkan perdebatan mengenai pro dan kontra mengenai kemunculan perkembangan modern, dan kata-kata ini nyatanya tidak dapat dianggap sebagai topik pencerahan. Bagaimanapun, hal ini mungkin berhasil untuk menyimpan sejarah penting dalam pikiran: kelahiran yang serempak dari pemikiran progresif modern dan produksi massal. Kecenderungan dari penghargaan ini dilihat oleh Min Lin (2001): “Merahasiakan keaslian sosial dari wacana kognitif dalam rangka membenarkan atau mensahkan posisinya dengan menguniversalkan dasar intelektual dan menciptakan kuasi-transendan suci baru.”

Modernitas selalu berusaha melampaui dirinya sendiri pada bagian yang berbeda, bergerak meluncur seperti hendak menemukan kembali keseimbangan yang telah lama hilang. Ini merupakan tekad untuk mengubah masa depan.

Dengan penekanan modernitas terhadap kebebasan, lembaga pencerahan modern memiliki tidaklah memiliki fakta-fakta kesuksesan selain hanya penyesuaian. Lyotard (1991) mengumpulkan keseluruhan hasil: “Kebiadapan yang baru, buta huruf dan pemiskinan bahasa, kemiskinan yang baru, perubahan bentuk opini tanpa ampun oleh media, perasaan tidak menyesal dari pikiran, serta keusangan jiwa.” Mengumpulkan massa, menstandardisasikan mode, dari setiap sendi kehidupan, dengan kejam telah menghidupkan kembali program pengaturan yang sesungguhnya dari modernitas.

“Kapitalisme tidaklah menciptakan dunia kita; tetapi mesinlah yang melakukannya. Penelitian Painstaking merancang pembuktian dari pertentangan yang tertimbun secara nyata dibawah cetakan yang berton-ton jumlahnya.” (Ellul 1964). Tidak dapat dipungkiri adanya pemusatan peran kelas, tetapi sekedar mengingatkan kita bahwa pembagian masyarakat dimulai dengan pembagian tenaga kerja. Pembagian itu sendiri mengarah langsung kepada pembagian masyarakat. Pembagian tenaga kerja merupakan tenaga kerja yang dibagi. Memahami apa karakterisasi dari kehidupan modern tidaklah lebih jauh dari usaha untuk mengetahui peranan teknologi dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti yang sudah ada. Lyotard (1991) menilai bahwa “teknologi tidaklah ditemukan oleh manusia. Tetapi oleh yang mengetahui jalan.

Dalam Faust Goethe, tragedi awal dari perkembangan industri, melukiskan horror terdalamnya sebagai bendungan dari tujuannya yang mulia. Pembangun yang luar biasa dari Faust ikut serta dalam gerakan endemik ke arah modernisasi, yang dapat mengancam jejak perbedaan dalam jumlah pergerakannya.

Kita berfungsi dalam bidang yang lebih homogen, dasar yang selalu menjalani bentuk utuh untuk mengenalkan jaringan teknologi global yang tunggal. Merupakan hal yang mungkin untuk menghindari kesimpulan ini dengan tetap fokus pada permukaannya, pada apa yang diizinkan nyata pada batas. Beberapa melihat Indymedia sebagai kemenangan penting dari desentralisasi, dan software gratis sebagai tuntutan yang radikal. Sikap ini mengabaikan dasar industri dari penggunaan dan pengembangan teknologi yang canggih. Segala “Alat yang menakjubkan” termasuk telepon selular yang beracun dan ada di mana-mana, lebih terhubung pada bencana ekosistem dari industrialisasi di Cina dan India, contohnya, dari pada pembersihan, halaman licin dari majalah Weired. Sang penyelamat mengklaim Weird luar biasa sebagai keputusan mereka, yang merupakan fantasi bersifat kekanak-kanakan. Penganutnya hanya dapat dipertahankan pada khayalan hebat yang berarti pembutaan dengan sengaja tidak hanya pada penghancuran sistematik teknologi alam, tetapi juga kerugian masyarakat global juga termasuk: hidup dipenuhi dengan racun, pekerjaan yang menjemukan, serta kecelakaan pabrik.

Sekarang muncul fenomena protes melawan seluruh hal yang menyangkut sistem universal, seperti “makanan yang lambat,” kota yang lambat, “jalan yang lambat”. Masyarakat lebih memilih kebutuhan yang memberikan jedah dan tidak melahap susunan kehidupan. Tetapi penurunan yang sebenarnya mengambil kecepatan. Hanyalah perubahan radikal yang merintangi lintasannya. Lebih banyak misil di banyak negara nyata merupakan bagian lain dari pergerakan umum dari teknologi yang penting. Momok dari kematian massa merupakan hasil yang sempurna, kondisi modernitas, sementara manusia berada pada kondisi teknologi dari subjeknya. Kita merupakan kendaraan mesin Mega, bukanlah pewaris, menjadi sandera dari setiap lompatan ke depan. Kondisi manusia teknologi menjadi nampak pada akhirnya. Tidak ada yang dapat diubah sampai dasar dari teknologi diubah, yaitu dihapuskan.

Kondisi kita diperkuat oleh mereka yang ada – pada mode klasik sesudah masa modern – dimana alam / budaya merupakan binarisme yang salah. Dunia yang alami diusingkan, diratakan, pada tegangan dari logika penyerahan yang mana alam selalu menjadi budaya, selalu tersedia untuk penaklukan. Koert van Mensvoort dalam “Exploring Next Nature” (2005) membongkar dominasi dari logika alam, yang begitu popular: “Alam kita yang selanjutnya akan terdiri dari apa yang seharusnya menjadi kebudayaan.” Selamat tinggal, realitas yang tidak ada. Setelah semuanya itu dia dengan gembira menyatakan bahwa alam berubah bersama dengan kita.

Hal ini merupakan kehilangan bagi konsep alam – dan bukan hanya konsepnya! Tetapi tanda “alam” pasti menikmati kepopuleran, ketika substansinya dihancurkan: “eksotik” produk budaya dunia ketiga, bahan-bahan makanan alami, dsb. Sayangnya, pengalaman alami berhubungan dengan pengalaman alam. Ketika yang terakhir dikurangi menjadi kehadiran yang tidak substansial, penciptanya dilecehkan. Paul Berkett (2006) menempatkan Marx dan Engels pada efek dengan masyarakat komunisme yang “tidak hanya akan merasakan tetapi juga mengetahui keutuhannya dengan alam,” komunisme itu merupakan “kesatuan manusia dengan alam.” Penanggulangan teknologi industri sebaliknya – merupakan sampah dari penciptanya. Mengenyampingkan orientasi komunisme, seberapa banyakkah ketidaksetujuan yang tersisa dengan syair Marx pada produksi massa?

Pengabaian terhadap pemahaman Freud dalam Civilization and its Discontents merupakan saran yang mendalam, “perasaan bersalah yang ditimbulkan oleh peradaban” menyebabkan ketidakpuasan dan rasa yang tidak enak. Adorno (1966) melihat bahwa hal ini relevan pada “bencana yang akan terjadi merupakan perkiraan dari bencana irasional pada awalnya.

Aslinya, kualitatif, menyampaikan kegagalan dalam hidup terhadap planet ini yang merupakan perencanaan gerakan peradaban. Masa pencerahan, -- sama seperti abad Axial agama dunia 200 tahun sebelumnya – menyiapkan transedensi untuk level berikutnya dari dominasi, sebuah dukungan yang sangat dibutuhkan untuk modernitas industri. Tetapi dimanakah sekarang seseorang mendapatkan sumber transendansi, membenarkan kerangka proses untuk level terbaru dari perkembangan yang serakah? Sungguh suatu dunia baru dari ide dan nilai dapat dipikirkan pada pengesahan semua reruntuhan yang mencakup modernitas terakhir? Hanyalah sistem yang memiliki kelembaman; tidak ada jawaban, dan juga masa depan.

Sementara itu, konteks kita adalah pada keramahan atas ketidakpastian. Tambatan stabilitas dari hari ke hari mencadi lambat, semnjak sistem mulai menampilkan kelemahan yang ganda. Ketika tidak lagi dapat menjamin keamanannya, maka hal ini akan berakhir dengan cepat.

Milik kita merupakan tempat yang menguntungkan sejarah yang tidak ada bandingannya. Kita dapat dengan mudah merengkuh sejarah dari penyakit peradaban universal. Pemahaman ini kemungkinan merupakan sinyal kekuatan yang memungkinkan pergantian paradigma, satu-satunya yang dapat sejalan dengan peradaban dan membebaskan kita dari keinginan untuk mendominasi. Tantangan yang berani, pada akhirnya; merupakan pengingatan kembali terhadap anak-anak yang mulai berbicara dengan wajah penyangkalan. Sang penguasa tidak memakai apapun; kata-katanya omong kosong.

Manually Translated | Konspirasi tinjabersayap [The Die Hardest Translator Of The World] (Januai 2010)

Tak Adakah Jalan Keluar?

John Zerzan

Agrikultur mengakhiri suatu periode panjang dari keberadaan umat manusia yang secara luas (keberadaan umat manusia-penj) ditandai dengan kebebasan/kemerdekaan dari kerja, alam yang tidak dieksploitasi, kesetaraan dan otonomi gender, serta tidak adanya kekerasan yang terorganisir. Agrikultur mengambil banyak dari bumi ketimbang apa yang ia berikan pada bumi dan ini merupakan pondasi dari kepemilikan pribadi. Agrikultur melingkupi kontrol, ekploitasi, pembangunan hirarki dan kebencian. Chellis Glendinning (1994) menggambarkan agrikultur sebagai suatu ‘trauma’ yang telah merusak jiwa manusia, kehidupan sosial, dan biosfer.

Namun agrikultur/domestikasi tidaklah muncul dengan tiba-tiba, 10.000 silam. Kemungkinan terdekatnya, adalah suatu titik kulminasi dari adaptasi yang sangat lambat pada pembagian kerja dan spesialisasi yang dimulai secara sungguh-sungguh di zaman Paleolitik Tertinggi, kira-kira 40.000 tahun yang lalu. Proses semacam ini adalah apa yang dibalik Adorno dan Horkheimer istilahkan sebagai “instrumental reason” dalam “Dialektika Pencerahan” mereka. Meskipun masih dipuji sebagai prakondisi bagi “objektivitas,” alasan manusia tidaklah netral. Entah bagaimana hal itu berubah, dengan dampak yang menghancurkan: alasan kita memenjarakan sisi kemanusian kita yang sebenarnya saat menghancurkan alam. Bagaimana cara bertanggung-jawab pada kenyataan bahwa aktifitas manusia telah menjadi sangat bertentangan dengan manusia itu sendiri, seperti yang dilakukannya pada semua spesies di dunia? Sesuatu telah mulai membawa kita ke arah negatif sebelum agrikultur, stratifikasi kelas, negara dan industrialisme menginstitusionalkan kesalahannya.

Hak ini adalah alasan yang salah, yang menginterpretasi realitas sebagai penggabungan atau peleburan instrumen-instrumen, sumber daya, dan alat-alat, membuat dominasi menjadi sesuatu yang lebih buruk yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sama halnya dengan teknologi, yang alasannya berreinkarnasi atau termaterialkan setiap saat, alasan mengenai “netralitas’ teknologi telah salah dari awal. Sementara itu, kita belajar untuk menerima kondisi kita saat ini. Ini adalah ‘sifat manusia’ yang “kreatif,” masuk ke dalam bagian yang terus berulang.

Pembagian kerja memberikan kekuasaan yang efektif bagi beberapa orang, pada saat yang sama membatasi atau mereduksi segala cakupannya. Hal ini bisa dilihat dalam pembuatan seni yang sama halnya seperti dalam inovasi-inovasi teknologikal. Kerja yang sebenarnya dari para individu-individu telah jelas terlihat pada seni atau pun ukiran gua yang paling awal, dan spesialisasi keterampilan adalah suatu aspek esensial dari perkembangan masyarakat yang ‘kompleks’ (atau bisa dikatakan terstratifikasi) saat ini. Penetapan peran-peran memudahkan suatu pemutusan kualitatif pada bentuk sosial manusia yang sudah berlangsung sejak lama, yang jelas-jelas terjadi hanya dengan periode yang singkat. Setelah dua atau tiga juta tahun mode kehidupan egalitarian foraging (Pemburu dan Pengumpul), hanya dalam 10.000 tahun, secara drastis menurun menjadi cara hidup yang beradab. Sejak saat itu, percepatan kerusakan bagian sosial dan ekologikal terus menerus terjadi.

Hal ini juga menarik bahwa seberapa lengkapkah pengalaman sebuah peradaban pada tingkatan pertamanya. K. Aslihan Yener’s dalam Domestication of Metal (2000) mendiskusikan industri yang ‘kompleks’ dalam peradaban awal manusia, pada zaman perunggu awal. Ia menggambarkan organisasi serta manajemen pada tambang dan peleburan timah di Anatolia, yang dimulai pada 8.000 tahun sebelum masehi. Bukti arkeologikal ini jelas menunjukkan bahwa erosi, polusi dan penebangan hutan merupakan konsekuensi yang logis, seperti yang terjadi pada awal peradaban yang banyak terdapat di Timur-Tengah.

Dengan peradaban, bagaimana hal itu adalah bagaimana ia harus selalu terjadi. Novel Russell Hoban’s (1980), Riddley Walker, menyediakan analisis yang tajam dalam logika peradaban. Narator dalam novel ini mengidentifikasi Apa yang biasa disebut kemajuan sebagai kekuasaan:
“Ia muncul dihadapanku dan aku tahu bahwa kekuasaannya takkan pernah menghilang. Ia ada dan akan terjadi. Kekuasaan menginginkan anda mendatanginya dengan kekuasaan. Kekuasaan menginginkan apa yang pernah terjadi untuk terjadi lagi. Kekuasaan menginginkan segala hal yang bergerak ke depan.”

Sifat dari proyek peradaban sudah jelas dari awalnya. Semenjak kemunculan produk agrikultur yang sangat cepat, intensifikasi dominasi menjadi mantap dan pasti. Hal ini menjelaskan bahwa monumen pertama dari manusia adalah bersamaan dengan tanda pertama dari domestikasi (R. Bradley dalam Mither, 1998). Linearitas yang menyedihkan dari penghancuran peradaban dunia alami telah disela oleh gejala dari penghancuran diri sendiri dalam bidang sosial, dalam bentuk peperangan. Dan ketika kita mengingat kembali mengenai B.D. Smith (1995) bahwa domestikasi adalah “penciptaan bentuk baru dari tumbuhan dan hewan,” hal ini menjadi jelas bahwa keahlian teknik genetik dan kloning hanyalah merupakan penyimpangan aneh dari norma.

Perbandingan dengan kehidupan beribu generasi Pemburu-Peramu merupakan hal yang mengejutkan. Tidak ada perselisihan bahwa para leluhur ini berbagi dalam pusat kehidupan mereka. Melalui literatur antropologi, berbagi dan merasa sama dalam hak merupakan sinonim dengan organisasi sosial pemburu-peramu, dikarakterisasikan sebagai gerombolan dari 50 atau beberapa orang. Dengan ketidakhadiran mediasi atau kewenangan politik, masyarakat menikmati pertalian ekspresif yang kuat berhadapan satu sama lainnya dan dalam kerukunan bersama alam.
Hewlett dan Lamb (2000) mengeksplorasi tingkat kepercayaan dan kasih dalam kelompok pemburu-peramu Aka di Afrika Tengah. Kedekatan fisik dan emosional antara anak-anak dan remaja Aka, merupakan hubungan yang erat dalam orientasi mereka terhadap dunia. Sebaliknya, masyarakat Aka melihat lingkungan mereka sebagai hal yang baik dan mendukung, karena ikatan yang tidak tertutup di antara mereka. Colin Turnbull mengamati realitas yang serupa dengan Mbuti di Afrika, yang biasa menujukan salamnya pada “Hutan Ibu, Hutan Ayah.”

Agrikultur merupakan model pertama dari segala bentuk otoritarianisme sistematik yang mengikutinya, termasuk kapitalisme dan penginisiasian penaklukan terhadap wanita. Perkampungan pertanian awal memiliki jumlah “sebanyak 400 orang” (Mithen, 2000). Kita tahu bahwa perkembangan populasi bukanlah merupakan penyebab dari agrikultur tetapi merupakan hasil darinya; saran-saran semacam ini menjadi dasar dinamis dalam masalah populasi. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat diorganisir pada jumlah manusia yang betul-betul merasa menjadi korban bagi kepentingan domestikasi. Hal ini mungkin berarti bahwa kita hanya bisa menyelesaikan masalah kelebihan penduduk dengan menghapus akar permasalahan yang menjadi dasar pemisah satu dengan lainnya. Dengan datangnya domestikasi, reproduksi tidak hanya dihargai secara ekonomi; tetapi juga ditawari kompensasi atau konsolasi dari apa yang telah dihapuskan oleh peradaban.

Di tengah-tengah pen-standarisasi-an, efek disipliner dari sistem teknologi dan kapital masa kini, kita dihadapkan pada rintangan yang belum pernah dihadapi sebelumnya tentang imaji dan representasi. Simbol telah secara luas berkumpul dengan yang nyata dan yang langsung, baik dalam interaksi perseorangan setiap hari dan dalam percepatan akan punahnya alam. Hal ini secara umum diterima sebagai hal yang mutlak, terutama semenjak menerima diktat kebebasan bahwa pembuatan simbol merupakan hal yang utama, melukiskan kualitas dari manusia. Kita belajar semenjak kecil bahwa semua tingkah laku dan budaya bergantung pada manipulasi simbol; karakteristik inilah yang membedakan kita dari hewan.

Tetapi melihat lebih dekat pada Homo di antara kita, di banyak milenia menantang “kewajaran” dari dominasi simbol dalam hidup kita. New discoveries membuat berita utama dengan frekuensi yang meningkat. Para arkeolog menemukan bahwa lebih dari jutaan tahun yang lalu, manusia sama pintarnya dengan kita–disamping itu fakta bahwa bukti paling awal pada penanggalan aktifitas simbolik (arca, pahatan di gua, artefak, catatan waktu, dll) tercatat hanya pada 40.000 tahun yang lalu. Manusia menggunakan api untuk memasak sekitar 1.9 juta tahun yang lalu; dan membangun serta berlayar dengan kapal sekitar 800.000 tahun yang lalu!

Orang-orang ini pasti sangatlah cerdas; mereka tidaklah meninggalkan jejak nyata dari ide-ide simbolik. Demikian juga walau pun nenek moyang kita semenjak jutaan tahun yang lalu memiliki I.Q. untuk memperbudak sesamanya dan menghancurkan planet, tetapi mereka menahan diri untuk melakukan hal tersebut. peradaban menganjurkan membuat usaha bersama untuk menemukan bukti bahwa simbol digunakan pada awal masa, yang diparalelkan dengan usaha yang gagal dalam dekade terkini untuk menemukan bukti yang akan menjatuhkan paradigma baru antropologi mengenai harmonisasi dan keadaan yang baik dari pra-agrikultur. Sejauh ini, penelitian mereka belum membuahkan hasil.

Terdapat celah waktu yang cukup besar antara sinyal kapasitas mental dan sinyal simbolis. Ketidakcocokan ini membuat keraguan yang serius pada kecakapan definisi manusia sebagai pembuat simbol. Kecocokannya antara permulaan gambaran dan permulaan dari apa yang tidak sehat mengenai spesies kita terlihat lebih penting. Pertanyaan mendasar lebih banyak merumuskan tentang diri mereka sendiri.

Seperti satu pertanyaan yang menyangkut gambaran alam. Foucault memerlihatkan bahwa penggambaran selalu mengikutsertakan kekuasaan. Mungkin terdapat hubungan antara representasi dan kekuasaan yang tidak seimbang tercipta ketika pembagian kerja mengambil alih aktifitas manusia. Pada kasus yang sama, sangat susah untuk melihat sistem sosial yang besar muncul dalam ketiadaan budaya simbolis. Pada tahap minimum, hal ini memang tak dapat dipisahkan.

Jack Goody (1997) menyebutnya “penekanan terus-menerus pada representasi”. Sejalan dengan impuls yang mudah dalam berkomunikasi, apakah tidak ada hal positif yang juga terjadi? Pada seluruh generasi sebelum peradaban, dongeng menguasai pikiran Pemburu-peramu–termasuk dalam berkomunikasi–akan tetapi mereka tidak menemukan simbol mengenai hal tersebut. Untuk mewakili realitas termasuk pergerakan menuju kesempurnaan, sistem yang tertutup, yang mana bahasa merupakan contoh yang nyata dan mungkin contoh paling asli. Dari mana hal ini akan menciptakan sistem, menamakannya serta menghitungnya? Mengapa dimensi yang mencurigakan ini terlihat seperti alasan instrumental, dengan inti yang secara esensial mendominasi?

Bahasa secara rutin dilukiskan sebagai hal yang alami dan juga merupakan bagian yang tak dapat dielakkan dari evolusi kita. Seperti pembagian tenaga kerja, ritual, domestikasi dan agama? Menyelesaikan kemajuan dan kita dapat melihat akhir dari biosfer serta alienasi total terlihat seperti “alami” dan “mutlak”. Hal ini dapat merupakan jalan keluar dari tatanan simbolik yaitu pertanyaan yang menjadi penekanan.

“Pada awalnya adalah kata”–pengumpulan ranah simbolik. Setelah kebebasan dalam Taman Eden dicabut, maka Adam menamakan hewan dengan nama hewan. Dengan cara yang sama, Plato mempertahankan bahwa ‘kata’ yang menciptakan benda. Terdapat satu momen penyesuaian linguistik, dan semenjak itu dalam mengategorikan bingkainya ditentukan dari seleruh fenomena. Penyesuaian ini berusaha untuk mengesampingkan “dosa yang sebenarnya” dari bahasa, yang merupakan pemisahan antara bercakap dan dunia, kata-kata dan benda-benda.
Banyak bahasa dimulai dengan kayanya kata kerja, tetapi secara gradual tidak dilaksanakan melalui banyaknya imperialisme dari kata benda. Hal ini memparalelkan pergerakan pada pembendaan bumi dengan lebih mantap, berfokus pada objek dan tujuan-tujuan sebagai pengeluaran dari proses. Dengan gaya yang sama, naturalisme yang hidup dari seni pahatan di dinding gua memberikan jalan bagi kemiskinan, penyesuaian estetika. Pada kedua kasus, deal simboliknya dipermanis dengan janji kesempurnaan yang sangat menggiurkan, tetapi pada setiap kasus, hasil dalam jangka panjangnya adalah mematikan. Mode-mode simbolis mungkin dimulai dengan kesegaran dan vitalitas, tetapi pada akhirnya memunculkan kembali kemelaratan mereka yang sebenarnya, logika yang sangat tua dari mereka.

Kualitas bawaan ketajaman sensual dari janin manusia mengalami atrofia semenjak mereka tumbuh dan berkembang dalam interaksi dengan budaya simbolik yang berlanjut pada infiltrasi dan monopoli pada kebanyakan aspek dari kehidupan kita. Beberapa yang tersisa yang tidak termediasi, sebenarnya masih bertahan. Permainan cinta, hubungan kedekatan, tercelup dalam sifat alami, serta pengalaman kelahiran dan kematian membangkitkan pikiran sehat dan intelegensi kita, menstimulasi suatu kelaparan yang tidak biasa (tak dikenal). Kita merindukan sesuatu dibandingkan kekurangan, dunia tiruan dari representasi, dengan with its second-hand pallor.

Komunikasi masih terbuka pada apa yang menghidupkan kilasan terdahulu, secara non-verbal, antar manusia. Segala kemarahan, saluran-saluran yang terkondisikan mungkin akan dibuang, karena kita tidak bisa hidup dengan apa yang tersedia. Sebagaimana tingkatan penderitaan, kehilangan, dan kekosongan meningkat, aparat yang berkuasa memompa lebih banyak ketidakpuasan dan kebohongan-kebohongan.

Merujuk pada telepati, Sigmund Freud menulis dalam karyanya yang berjudul New Introductory Lectures on Psychoanlysis, “Seseorang telah terdorong untuk curiga bahwa ini adalah orisinil, metode kuno dalam komunikasi.” Freud tidaklah merayakan kecurigaan ini, dan terlihat takut terhadap kelangsungan hidup manusia yang disertai oleh dinamika non-kultural. Lauren van der Post (The Lost World of the Kalahari, 1958) berhubungan dengan beberapa pengamatan mengenai komunikasi telepatik, melalui jarak, masyarakat yang dikenal dengan nama “Bushmen”. M. Pobers dan Richard St. Barbe Baker, juga menulis pada tahun 1950, menyaksikan telepati oleh masyarakat pribumi sebelum mereka dikolonisasikan oleh peradaban. Saya menyebutkan hal ini sebelumnya sebagai satu pandangan mengenai realita dari non-simbolis, koneksi langsung yang sebenarnya telah ada sejak lama, dan hal ini dapat dihidupkan kembali di antara reruntuhan representasi.

Bahasa dan seni mungkin sebenarnya telah muncul dan menyatu dalam ritual, inovasi budaya bermaksud menjembatani pemisahan antara manusia dengan dunianya. Istilah “animisme” sering digunakan, bahkan terkadang direndahkan, untuk menjelaskan suatu kepercayaan bahwa sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan manusia dan bahkan objek-objek yang tak memiliki hunian dengan “roh-roh”. Sama halnya istilah “anarkisme” adalah gambaran singkat dari penggambaran anarki, sudut pandang atau keadaan yang menolak hirarki, “animisme” gagal menangkap kualitas transformatif dari kesadaran yang dibagi bersama. Dalam pembahasan mengenai anarki, terdapat kesadaran untuk hidup bersama dalam kesetaraan dengan manusia lain yang mengharuskan penolakan terhadap segala bentuk dominasi, termasuk representasi kepemimpinan dan perwakilan politik. “Animisme” merujuk pada perluasan kesadaran dalam bentuk kehidupan lainnya dan bahkan “memercayai” bahwa ada kehidupan dalam bebatuan, awan, dan sungai. Fakta bahwa tidak ada kata yang berhubungan dengan animisme, sejalan dengan anarki, merupakan indeks atau daftar petunjuk mengenai bagaimana seberapa jauh jarak kita dari kesadaran ini. Green Anarchy secara eksplisit mengatakan bahwa anarki haruslah merangkul komunitas yang ada dalam kehidupan, dan dalam pengertian ini mengambil langkah menuju pembangunan kembali kesadaran ini.

Apakah manusia telah kehilangan kesadaran akan keterlibatannya pada komunitas hidup dengan kedatangan domestikasi, pembagian kerja dan agrikultur? Pembangunan monumen-monumen serta awal mula pengorbanan hewan dan manusia akan cenderung untuk mendukung hipotesis ini. Secara karakteristik, korban dari hal ini memegang tanggung jawab terhadap kemalangan dan penderitaan bersama, sementara alasan fundamental dari kehilangan komunitas menjadi tidak dikenali. Ritual yang termasuk “jumlah besar dari energi” (Knight in Dunbar, Knight and Power, 1999); juga sering disuarakan, dimultimediakan, emosional, dan berlebihan, memberi kesaksian pada rasa mendalam atas krisis yang mendasarinya.

Pergerakan dari animisme ke ritual memarelelkan transformasi hal-hal yang kecil, dari kelompok yang bertatap muka ke kelompok yang besar, yaitu masyarakat yang lebih kompleks. Budaya mengambil alih, dengan profesional ter-spesialisasi yang bertanggung jawab atas dunia yang kudus. Kerinduan akan perasaan sebenarnya mengenai kekerabatan dengan manusia lainnya serta keintiman yang egaliter dengan manusia lain tidaklah dapat diredakan dengan aktifitas ritual yang dikembangkan dalam sistem sosial hirarki. Kecenderungan ini memuncak dalam pengajaran mengenai agama-agama transeden, semenjak arti kehidupan kita di dunia terasa ada kejanggalan, kita seharusnya melekatkan harapan kita pada imbalan surgawi. Sebaliknya, seperti yang digambarkan Aka dan Mbuti di atas, perasaan yang menyatu dengan bumi serta semua penduduknya, dan perasaan bahagia serta eksistensi yang penuh arti, terlihat berjalan dengan baik ketika kita manusia hidup dalam egalitarian, kelompok yang saling bertatap muka.

Kembali pada bahasa, suatu persetujuan terhadap hal yang dangkal merupakan realita yang secara inheren tersingkap melalui bahasa–yang pada kenyataannya realita dengan jelas dimediasi oleh bahasa. Posmodernisme mengangkat hal ini dalam dua cara. Karena bahasa pada dasarnya merupakan sistem penunjuk diri, penegasan oleh posmodernisme, bahasa tidaklah sepenuhnya melibatkan peng-arti-an. Lebih jauh, hanya ada bahasa (sebagaimana hanya ada peradaban); tak ada jalan keluar dari dunia yang didefinisikan melalui permainan bahasa (dan domestikasi). Namun bukti arkeologi dan etnografi menunjukkan dengan jelas bahwa kehidupan manusia ada di luar representasi, dan tidak ada yang dapat menghalangi manusia untuk hidup seperti itu lagi—bagaimanapun dengan dengan kesalehan para posmodernis dalam penyesuaian diri mereka pada sistem, berdoalah agar hal ini tidak terjadi.

Tujuan dalam representasi pada “the society of spectacle” saat ini digambarkan dengan jelas oleh Guy Debord. Kita sekarang mengonsumsi imaji dari kehidupan: kehidupan telah beralih menjadi suatu bagian dari representasinya, sebagai spectacle. Pada saat yang sama semenjak teknologi menawarkan realitas virtual pada individu, ensemble media elektronik menciptakan komunitas virtual, simbol tahap lanjut dari kepasifan konsumsi dan keadaan yang tidak berdaya.

Tetapi neraca bagi tatanan yang berkuasa menunjukkan ramalan yang kacau. Untuk satu hal yang jelas, representasi dalam sektor politik bertemu dengan skeptimisme dan apatis yang similiar yang ditunjukkan melalui representasi secara umum. Pernahkah ada terdapat begitu banyak keluhan yang terus menerus mengenai demokrasi, dan dan juga dalam taraf kecil yang tertarik mengenai hal ini? Untuk mewakili atau diwakili oleh penurunan, pengurangan, baik dalam budaya simbolis maupun dalam kaitannya dengan kuasaan.

Demokrasi, tentu saja merupakan bentuk dari aturan. Partisipan anarki haruslah mengetahui mengenai hal ini, walaupun aliran kiri tidak mempunyai masalah dengan penguasaan. Para Anarko-sindikalis dan anarkis klasik lainnya gagal memertanyakan beragam institusi dengan lebih fundamental, seperti pembagian kerja, domestikasi, dominasi alam, kemajuan, masyarakat, teknologi, dll.

Mengutip kembali Riddley Walker, sebagai suatu penawar racun: “Saya dapat merasakan sesuatu tumbuh dalam diriku seperti gelombang laut yang mengatakan, HILANGKANLAH. Mengatakan, LUPAKANLAH, SATU-SATUNYA KEKUASAAN ADALAH KETIADAAN KEKUASAAN.” Inti dari anarki”.

Heidegger dalam Discourse on Thinking, memberikan nasehat bahwa sikap yang “terbuka terhadap misteri” menjanjikan “bidang dan dasar baru atas apa yang dapat kita pertahankan dan pikul dalam dunia teknologi tanpa dibahayakan olehnya. “Orientasi anti-otoritarian tidaklah terdiri dari sikap pasif, yang berubah hanyalah kesadaran kita. Malahan, teknologi dan kaki tangannya, budaya, haruslah dipertemukan dengan otonomi yang tegas dan penolakan yang melihat pada seluruh rentang waktu kehadiran manusia dan menolak seluruh dimensi keterkurungan dan penghancuran. TOTAL!!

Manually Translated | Konspirasi tinjabersayap [The Die Hardest Translator Of The World] (November 2009)

Patriarki, Peradaban, Dan Asal-Usul Gender¹

John Zerzan

Peradaban, pada dasarnya, merupakan sejarah dominasi terhadap alam dan perempuan. Patriarki berarti penguasaan terhadap perempuan dan alam. Apakah kedua institusi ini merupakan sinonim?

Filsafat telah meninggalkan alam penderitaan yang luas ketika jalannya yang panjang, dalam pembagi-bagian divisi kerja, perlahan-lahan mulai terbuka. Hélène Cixous menyebut sejarah filsafat sebagai suatu “rantai ayah-ayah” (chains of fathers). Perempuan, seperti halnya penderitaan, selalu absen dari hal tersebut, dan tentunya (mereka: penderitaan dan perempuan) adalah saudara dekat.

Camille Paglia, seorang pemikir antifeminis, ketika ia merenungi peradaban dan perempuan:

“Ketika aku melihat seekor burung bangau besar melewati sebuah truk panjang, sejenak aku terdiam dan tertunduk takzim, seperti yang akan dilakukan orang-orang ketika sedang berada dalam ibadah gereja. Konsepsi kekuatan macam apa: kebesaran macam apa: yang dihubungkan oleh bangau-bangau ini dengan peradaban Mesir kuno, ketika arsitektur monumental pertama kali dibayangkan dan dicapai. Apabila peradaban diserahkan ke tangan perempuan, mestilah kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk jerami.”²

“Kemuliaan” peradaban dan bagaimana hal tersebut tidak menarik bagi perempuan. Bagi sebagian dari kita “gubuk-gubuk jerami” merepresentasikan untuk tidak mengambil jalan yang salah, yaitu penindasan dan pengrusakan. Di dalam kemajuan peradaban teknologi global yang mengarah pada kehancuran dan kematian, andai saja kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk jerami!

Perempuan dan alam secara universal telah dihilangkan nilainya oleh paradigma dominan dan siapa yang tak melihat penempaan dari ini? Ursula Le Guin memberikan kita koreksi yang tepat dari ketidakpercayaan Paglia akan keduanya (perempuan dan alam):

“Manusia beradab berkata: Aku adalah diri, aku adalah tuan, segala sesuatu diluar dari aku adalah yang lain -- berada di luar, di bawah, tak terlihat, bawahan. Aku memiliki, aku menggunakan, aku mengeksplorasi, aku mengeksploitasi, aku mengontrol. Apa yang kulakukan adalah yang penting. Apa yang aku inginkan adalah alasan mengapa semua ini ada. Aku adalah aku, dan selain dari itu adalah keperempuanan dan keliaran yang, harus digunakan sesuai kemauanku.”³

Banyak orang percaya bahwa peradaban yang kali pertama itu matriarkal. Namun, tak seorangpun ahli antropologi atau arkeologi, termasuk feminis, menemukan bukti atas masyarakat tersebut. “Pencarian akan sebuah budaya egalitarian genuin, taruhlah matriarkal, tak pernah membuahkan hasil,” terang Sherry Ortner.4

Meskipun demikian, memang ada masanya, sebelum budaya lelaki menjadi sesuatu yang universal, ketika perempuan secara garis besar tidak selalu berada di bawah pria. Sejak 1970-an antropolog semacam Adrienne Zihlman, Nancy Tanner dan Frances Dahlberg5 membenarkan stereotip mula-mula era prasejarah di mana ”Lelaki adalah sang pemburu” dan ”Perempuan adalah sang peramu.” Kuncinya di sini adalah bahwa dari data-data yang secara general, komunitas-komunitas praagrikultur memperoleh 80 persen kebutuhan makan dari mengumpul (mengumpulkan makanan) dan 20 persen dari berburu. Sangat mungkin untuk mencurigai pemisahan antara berkumpul/berburu dan mengabaikan bahwa komunitas-komunitas tersebut, dalam tingkatan-tingkatan signifikan, dapat membuktikan bahwa perempuan yang berburu dan pria yang meramu.6 Namun otonomi perempuan di dalam masyarakat semacam ini mengacu pada fakta, melalui penilaian pola aktivitas mereka, bahwa sumberdaya untuk hidup bagi perempuan cukup setara dengan pria.

Dalam konteks umum, etos egalitarian masyarakat pemburu (hunter gatherer) atau peramu makanan (foraging society), ahli-ahli antropologi seperti Eleanor Leacock, Patricia Draper dan Mina Caufield telah menjelaskan, secara garis besar, adanya hubungan setara antara perempuan dan pria.7 Di dalam tatanan masyarakat semacam itu ketika seseorang memperoleh sesuatu, ia pula yang akan membagikannya, dan ketika perempuan memperoleh 80 persen makanan, maka mereka jugalah yang menentukan aturan bagi gerak kelompok serta lokasi-lokasi untuk menetap. Serupa dengan adanya bukti yang mengindikasikan bahwa perempuan dan pria yang membuat alat-alat dari batu yang digunakan oleh masyarakat-masyarakat praagrikultur.8

Dalam komunitas-komunitas matriarkal Pueblo, Iroquois, Crow dan kelompok-kelompok Indian Amerika lainnya, perempuan dapat memutuskan tali perkawinan kapan saja. Secara garis besar, pria dan perempuan di dalam masyarakat semacam ini lebih leluasa bergerak dengan bebas dan damai dari satu kelompok ke kelompok lainnya, seperti halnya juga ketika mereka berada di dalam atau di luar suatu hubungan.9 Menurut Rosalind Miles, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun mengeksploitasi perempuan,

“...mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak ada yang namanya pengagungan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas seksual perempuan.”10

Zubaeda Banu Quraishy memberikan satu contoh dari Afrika: “Asosiasi-asosiasi gender suku Mbuti dikarakterisasikan oleh harmoni dan kerjasama.”11

Kendati demikian, seseorang akan berpikir, benarkah situasinya semenyenangkan itu? Melihat terjadinya penghapusan makna atau devaluasi keperempuanan yang beragam bentuknya, namun tidak dalam esensinya, pertanyaan kapan dan bagaimana, cukup jelas berkata sebaliknya. Terdapat sebuah pembagian mendasar eksistensi sosial menurut gender, serta hierarki dari pembagian tersebut. Bagi filosof Jane Flax, dualisme yang paling mapan, termasuk pemisahan subjek-obyek serta pikiran-tubuh, merupakan suatu refleksi dari perpecahan gender.12

Gender tidaklah serupa dengan pembedaan alamiah/fisiologis menurut jenis kelamin. Ia adalah suatu katagorisasi kultural dan tingkatan yang bersandar pada sebuah pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin yang mungkin merupakan bentuk tunggal kultural yang terpenting. Apabila gender mengenalkan dan melegitimasi ketidaksetaraan serta dominasi, apa yang penting untuk dipertanyakan? Jadi dalam pengertian asal-usulnya—serta dalam pengertian masa depan kita—pertanyaan mengenai masyarakat manusia tanpa gender yang menjadi pertanyaannya.

Kita semua mengerti bahwa pembagian divisi kerja memerlebar jalan terciptanya domestikasi dan peradaban yang menjadi penggerak sistem dominasi global sekarang ini. Juga terlihat bahwa bentukan-bentukan pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin merupakan artifisialitas dalam bentuknya yang paling awal dan juga, sebagai efeknya, membentuk formasi gender.

Saling berbagi makanan telah lama dikenal sebagai suatu capaian terbaik dari cara hidup meramu bahan makanan (foraging life-way). begitu juga dengan membagi tanggung jawab untuk merawat keturunan, yang masih dapat dilihat dari sisa-sisa masyarakat semacam itu, dan pola semacam ini cukuplah berbeda dengan kehidupan keluarga dalam peradaban yang terisolasi dan terprivatisasi. Keluarga tidak dipandang sebagai suatu institusi abadi, begitupula dengan eksklusivitas peran “wanita sebagai pengasuh” (female mothering) yang dimaknai sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dari evolusi manusia.¹³

Masyarakat terintegrasikan melalui pembagian divisi kerja dan keluarga, terintegrasikan melalui pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin. Kebutuhan untuk integrasi memperlihatkan sebuah tegangan, sebuah keterpisahan yang mengundang suatu dasar kohesi atau solidaritas. Dalam pengertian ini, anggapan Testart cukup tepat: ”[hal yang] inheren di dalam hubungan kekerabatan adalah hierarki.”14 Dengan berdasar pada pembagian divisi kerja, hubungan di dalam keluarga menjadi hubungan produksi. ”Gender adalah sesuatu yang inheren di dalam sifat alami hubungan kekerabatan,” seperti yang dijelaskan oleh Cucchiari, ”yang tak dapat eksis tanpanya.”15 Di dalam wilayah inilah akar dari dominasi terhadap alam, sebagaimana juga dominasi terhadap perempuan, dapat dieskplorasi.

Seperti yang telah diketahui, suku-suku peramu makanan di dalam masyarakat semacam itu membuka jalan bagi peran-peran yang terspesialisasi, struktur hubungan kekerabatan membentuk infrastruktur hubungan yang akan berkembang menuju ketidaksetaraan dan pembeda-bedaan kekuatan. Perempuan secara tipikal menjadi imobilitas akibat suatu peran khusus menjaga anak; pola semacam ini selanjutnya semakin berkembang melampui kriteria-kriteria yang tadinya terbentuk sebagai peran gender. Pemisahan dan pembagian divisi kerja menurut gender ini mulai hadir selama transisi dari era Pertengahan sampai era Paleolitikum Lanjut.16

Gender dan sistem hubungan kekerabatan merupakan konstruksi kultural yang dibentuk berdasarkan dan bertentangan dengan subjek-subjek biologis yang, menurut Juliet Mitchell, melibatkan “lebih dari apapun sebuah organisasi simbolik dari perilaku.”17 Seperti yang telah eksis di dalam masyarakat berbasis gender dan sistem hubungan kekerabatan, mungkin akan lebih menjelaskan apabila melihat langsung pada budaya simbolik itu sendiri, dengan melihat “kebutuhan untuk memediasi secara simbolis suatu pendikotomian kosmos yang hebat.”18 Pertanyaan siapa yang lebih dulu muncul, datang dengan sendirinya dan sulit untuk diketahui. Kendati demikian, cukup jelas bahwa tak ada pembuktian aktivitas-aktivitas simbolik (seperti misalnya yang terdapat di dalam lukisan-lukisan gua) sebelum sistem gender, yang didasari pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, terlihat berlangsung di era tersebut.19

Memasuki era Paleolitikum Lanjut, yang merupakan epos awalan dari Revolusi Neolitikum di mana terbentuknya peradaban dan domestikasi, revolusi gender telah mencapai masanya. Tanda-tanda maskulin dan feminin mulai hadir sekitar 35.000 tahun lalu di dalam seni-seni gua. Kesadaran gender bangkit sebagai pencapaian keseluruhan dualitas, suatu spektral atau momok dari masyarakat yang terpilah-pilah. Di dalam suatu polarisasi aktivitas baru ini, aktivitas menjadi relasi dan terdefinisikan oleh gender. Peran pemburu, misalnya, berkembang menjadi sesuatu yang diasosiasikan sebagai kelaki-lakian, kriteria-kriterianya diatributkan pada gender pria sebagai suatu sifat yang diinginkan.

Ketika telah menjadi sangat menyatu atau menyeluruh, aktivitas semacam kelompok-kelompok peramu makanan dan tanggung jawab komunal untuk merawat anak, sekarang ini menjadi bidang-bidang yang terpisah di mana kecemburuan seksual dan kepemilikan (posesifitas) mulai terlihat. Di saat yang bersamaan, hal-hal simbolis muncul sebagai suatu bidang ataupun realitas yang terpisah. Bukti-bukti ini bisa dilihat dalam praktik-praktik seni dan ritual. Sangatlah berisiko untuk mengandaikan masa lalu yang jauh menggunakan titik berangkat masa sekarang, meskipun budaya-budaya nonindustrial yang masih tersisa dapat menunjukan titik terang. Suku Bimin-Kushumin Papua Nugini, misalnya, mengalami pemisahan maskulin dan feminin sebagai sesuatu yang mendasar dan menegaskan. ”Esensi” maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik, tidak hanya melambangkan kualitas-kualitas kekuatan ala ksatria perang, tapi juga berhubungan dengan ritual dan kontrol. ”Esensi” feminin, atau khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang liar, impulsif, sensual, dan acuh pada ritual.20 Sama halnya dengan Mansi di daerah barat-daya Siberia yang memberlakukan aturan-aturan keras pada keterlibatan perempuan di dalam praktik-praktik ritual.21 Dengan bukti suku-suku seperti ini, bukanlah hal yang berlebihan untuk mengatakan bahwa, kehadiran atau absen peran ritual, merupakan sesuatu yang menentukan bagi subordinasi perempuan.22 Gayle Rubin menyimpulkan bahwa ”kekalahan dunia-historis (world-historical) perempuan terjadi melalui asal-usul budaya dan merupakan prasyarat budaya.”23

Kebangkitan simultan budaya simbolis dan kehidupan gender bukanlah suatu kejadian yang kebetulan. Kedua-duanya melibatkan suatu perubahan mendasar dari kehidupan yang tadinya tidak terpilah-pilah dan nonhierarkis. Logika perkembangan dan perluasan kedua hal tersebut merupakan sebuah respon dari tegangan-tegangan dan ketidaksetaraan yang mereka ciptakan; keduanya saling-terhubung secara dialektis dengan awal-mula pemisahan divisi kerja yang artifisial.

Secara cukup relatif, “Lompatan Besar Menuju” era agrikultur dan peradaban mulai hadir ketika terjadinya alterasi gender atau budaya simbolik. Ini merupakan era yang menentukan bagi istilah ”rising above nature”, dengan mulai mengenyampingkan keintiman dan kecerdasan nondominatif dengan alam yang telah ada sebelumnya, selama dua juta tahun. Perubahan ini cukup menentukan bagi konsolidasi dan intensifikasi pembagian divisi kerja. Meillasoux mengingatkan kita tentang permulaannya:

“Alam sama sekali tidak menjelaskan mengenai pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, tidak pula dengan institusi semacam pernikahan, keterikatan suami-istri, maupun paternalitas. Semuanya dipaksakan kepada perempuan, oleh karena itu semua fakta-fakta peradaban haruslah dijelaskan, bukan malah menggunakannya untuk menjelaskan [secara sebaliknya].”24

Kelkar dan Nathan, misalnya, tidak banyak menemukan adanya spesialisasi gender pada kelompok-kelompok pemburu di India bagian barat, apabila dibandingkan dengan kondisi masyarakat agrikultur disana.25 Transisi dari pengumpul makanan menuju pada pemeroduksi makanan mengarah pada perubahan-perubahan radikal di dalam masyarakat mana saja. Cukuplah menjelaskan, apabila mencermati contoh yang mendekati jaman sekarang, bahwa suku Muskogee di Amerika Tenggara yang menjunjung tinggi nilai-nilai intrinsik dari hutan yang belum terjamah dan terdomestikasi; dijajah oleh kaum kolonial dan menggantikan tradisi Muskogee yang matrilineal dengan hubungan patrilineal.26

Tempat terjadinya transformasi dari gaya hidup “liar” menuju yang berbudaya adalah ketika manusia mulai berdomisili secara tetap, sebagaimana perempuan mulai terbatasi horison-horisonnya. Domestikasi berangkat dari sini (secara etimologis, berasal dari kata Latin domus, atau rumah tangga): kerja-kerja membosankan—yang tidak sesulit seperti meramu bahan makanan—, reproduksi berlebihan, dan pengharapan hidup yang lebih rendah daripada kaum pria. Indikasi-indikasi ini hadir di dalam masyarakat agrikultur sebagai peran perempuan.27 Dari sini dikotomi yang lain lagi muncul, pembedaan antara kerja dan nonkerja, sesuatu yang bagi banyak generasi tidak pernah eksis. Melalui produksi gender ini beserta perluasannya yang konstan, mulai berkembanglah fondasi-fondasi budaya dan mentalitas kita.

Setelah dibatas-batasi seperti ini, perempuan, meski belum sepenuhnya dipasifkan, mulai didefinisikan sebagai pasif. Seperti halnya alam, sebagai nilai yang dijadikan sumber untuk diproduksi; yang menunggu penyuburan dan pengaktifan dari luar tubuhnya. Perempuan mengalami pelepasan otonomi dan kesetaraan yang relatif di dalam suku-suku kecil yang bersifat nomadik dan anarkik menjadi kediaman-kediaman yang besar, kompleks, dan dikontrol.

Mitologi dan agama, sebagai kompensasi-kompensasi dari masyarakat yang terpilah-pilah, bersaksi atas direduksinya posisi perempuan. Dalam cerita Yunani versi Homer, tanah kosong (yang belum didomestikasi oleh budaya bercocok-tanam), kediaman Calypso asal Circa, Sirens yang menggoda Odysseus untuk meninggalkan kerja-kerja peradaban, dikatagorikan sebagai feminin. Baik tanah dan perempuan, sekali lagi, menjadi subjek dominasi. Namun imperialisme semacam ini mengkhianati asal muasal rasa bersalah, sebagaimana hukuman bagi mereka yang berkaitan dengan domestikasi dan teknologi, di dalam dongeng-dongeng Promotheus dan Sisifus. Proyek agrikultur di banyak tempat, menjadi semacam pelanggaran; seperti halnya pemerkosaan di dalam cerita-cerita Demeter. Seiring lewatnya waktu dan kekalahan-kekalahan , hubungan-hubungan ibu dan anak perempuan di dalam mite Yunani—seperti cerita-cerita Demeter-Kore, Clytemnestra-Iphigenia, Jocastra-Antigone, misalnya—mulai hilang.

Di dalam Kitab Kejadian (Genesis), bagian awal dari Alkitab, perempuan lahir dari rusuk pria. Kejatuhan (baca: keterusiran) dari Taman Eden merepresentasikan kematian kehidupan berburu dan berkumpul, pemaksaan menuju agrikultur dan kerja-kerja keras. Tentunya, semua itu disalahkan pada Hawa (Eve), yang menjadi stigma dari Kejatuhan ini.28 Cukup ironis memang, di dalam cerita tersebut domestikasi terasa seperti rasa takut dan penolakan terhadap sifat alam dan perempuan, sementara mite Eden, dalam kenyataannya, justru menyalahkan korban utama dari skenarionya.

Agrikultur adalah penaklukan yang mengisi lahirnya formasi dan berkembangnya gender. Terlepas dari adanya figur-figur dewi-dewi, yang dijadikan sebagai lambang kesuburan, secara general budaya Neolitikum sangatlah menjunjung tinggi kejantanan. Melalui dimensi-dimensi emosional maskulinisme, sebagaimana yang dilihat Cauvin, domestikasi hewan-hewan mestilah datang, secara prinsipal, dari inisiatif kaum pria.29 Semenjak itu pemisahan dan tekanan pada kekuasaan mulai hadir bersama kita; ekspansi daerah-daerah, misalnya, di mana energi pria menundukan sifat alami perempuan mulai diperluas.

Hal ini telah mencapai proporsinya yang dashyat, dan dari segala sisi kita diberitahu bahwa kita tidak dapat menghindari hubungan dengan teknologi yang sudah sangat menyeluruh. Namun patriarki, juga, ada di mana-mana, dan sekali lagi inferioritas alam dipertahankan. Untungnya, ”banyak kaum feminis”, menurut Carol Stabile, percaya bahwa “penolakan terhadap teknologi, secara fundamental, sangatlah identik dengan penolakan terhadap patriarki.”30

Ada kaum feminis lain yang mengklaim bahwa bagian dari sumber-sumber teknologi, mengakui adanya suatu “pelepasan dari tubuh” secara virtual, cyborg (organisme sibernetik) dan sejarah penaklukan gendernya. Namun titik berangkat semacam ini salah kaprah, suatu pelupaan akan keseluruhan angkutan dan logika menindas dari institusi yang menciptakan patriarki. Masa depan high-tech yang mengoyak tubuh ini hanya merupakan unsur dan jalan yang sama destruktifnya.

Menurut Freud, menganalisa orang menurut subjek gendernya merupakan sesuatu yang mendasar, baik secara kultural dan psikologis. Namun teori-teorinya mengasumsikan masa yang telah mengekspresikan subjektivitas gender, dan karenanya memicu banyak pertanyaan. Berbagai macam pertimbangan tetap tak terpetakan, seperti halnya gender sebagai suatu ekspresi relasi kekuasaan, dan fakta bahwa manusia datang di dunia sebagai mahkluk biseksual.

Carla Freeman memiliki pertanyaan yang berkaitan di dalam esainya yang berjudul, “Is Local: Global as Feminine: Masculine? Rethinking the Gender of Globalization” .31

Krisis umum modernitas berakar pada imposisi gender. Pemisahan dan ketidaksetaraan dimulai pada periode lahirnya budaya simbolik, yang pada tingkatan lanjutnya menjadi sesuatu yang menentukan seperti halnya dengan domestikasi dan peradaban: patriarki. Hierarki gender tidak dapat direformasikan seperti halnya sistem kelas atau globalisasi. Tanpa konsep pembebasan perempuan yang benar-benar radikal, kita akan terjebak di dalam pengecohan dan pengudungan yang sekarang ini telah menjadi hasil yang menakutkan di manapun. Keseluruhan orisinal ketiadaan gender (genderlessness) mungkin bisa menjadi prasyarat bagi penyelamatan kita. []

Jejak kaki:
  • a. John Zerzan, lahir pada 1943 di Oregon. Ia menamatkan pendidikan B.A pada Universitas Stanford dalam disiplin Ilmu Politik (1962-1966), mendapatkan magister dalam bidang kajian Sejarah dari Universitas Negeri San Fransisco (1970-1972), dan menempuh pendidikan Ph.D di Universitas California Selatan (1972-1975). Zerzan merupakan seorang anarkis dan filosof primitivis, dan profilik dalam penulisan. Ada empat karya yang menjadi magnum opusnya, yakni Elements of Refusal (1988), Future Primitive and Other Essays (1994), Against Civilization: A Reader (1998) dan Running on Emptiness (2002). Kegiatannya banyak berkonsentrasi pada kritik peradaban. Ia mengkaji secara mendalam mengenai pola kehidupan manusia prasejarah. Selain, itu sangat aktif dalam gerakan-gerakan anarkis yang ada.
  1. Naskah ini diterjemahkan oleh Ernesto Setiawan, kemudian diperiksa ulang serta disunting dengan merujuk naskah aslinya oleh Hardiansyah Suteja.
  2. Camille Paglia. 1990. Sexual Personae: Art and Decadence from Nefertiti to Emily Dickinson. New Haven: Yale University Press: New Haven. hal. 38.
  3. Ursula Le Guin. 1989. "Women/Wildness," dalam Judith Plant (ed.) Healing the Wounds. Philadelphia: New Society. hal. 45.
  4. Sherry B. Ortner. 1996. Making Gender: the Politics and Erotics of Culture. Boston: Beacon Press. hal. 24. Lihat juga Cynthia Eller. 2000. The Myth of Matriarchal Prehistory: Why an Invented Past Won’t Give Women a Future. Boston: Beacon Press.
  5. Sebagai contoh, Adrienne L. Zihlman dan Nancy Tanner. 1978. "Gathering and Hominid Adaptation" dalam Lionel Tiger and Heather Fowler (ed.). Female Hierarchies. Chicago: Beresford); Adrienne L. Zihlman. 1978. "Women in Evolution," Signs 4; Frances Dahlberg. 1981. Woman the Gatherer New Haven: Yale University Press; Elizabeth Fisher. 1979. Woman’s Creation: Sexual Evolution and the Shaping of Society. Ga.rden City NY: Anchor/ Doubleday.
  6. James Steele dan Stephan Shennan (ed.). 1995. The Archaeology of Human Ancestry. New York: Routledge. hal. 349. juga M. Kay Martin and Barbara Voorhies. 1975. Female of the Species. New York: Columbia University Press, hal 210-211.
  7. Leacock merupakan salah satu yang paling ngotot di antara semuanya, dengan mengatakan bahwa apapun bentuk dari dominasi pria yang ada dalam masyarakat tersebut yang bertahan, disebabkan oleh efek dominasi kolonial. LIhat Eleanor Burke Leacock. 1978. "Women’s Status in Egalitarian Society" dalam Current Anthropology 19; dan Eleanor Burke Leacock. 1981. Myths of Male Dominance. New York: Monthly Review Press. Lihat juga "Powerful Women and the Myth of Male Dominance in Aztec Society" karya S. dan G. Cafferty Archaeology from Cambridge 7 (1988).
  8. Joan Gero dan Margaret W. Conkey (ed.). 1991. Engendering Archaeology. Cambridge MA: Blackwell; C.F.M. Bird. 1993. "Woman the Toolmaker" dalam Women in Archaeology. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies.
  9. Claude Meillasoux. 1981. Maidens, Meal and Money. Cambridge: Cambridge University Press, hal. 16.
  10. Rosalind Miles. 1986. The Women’s History of the World. London: Michael Joseph. hal. 16.
  11. Zubeeda Banu Quraishy. 2000. "Gender Politics in the Socio-Economic Organization of Contemporary Foragers" dalam Ian Keen dan Takako Yamada (ed.). Identity and Gender in Hunting and Gathering Societies. Osaka: National Museum of Ethnology. hal. 196.
  12. Jane Flax. 1983. "Political Philosophy and the Patriarchal Unconscious " dalam Sandra Harding dan Merrill B. Hintikka (ed.), Discovering Reality. Dortrecht: Reidel. hal. 269-270.
  13. Lihat Patricia Elliott. 1991. From Mastery to Analysis: Theories of Gender in Psychoanalytic Feminism. Ithaca: Cornell University Press. e.g. hal. 105.
  14. Alain Testart. 1989. "Aboriginal Social Inequality and Reciprocity" dalam Oceania 60. hal. 5.
  15. Salvatore Cucchiari. 1984. "The Gender Revolution and the Transition from Bisexual Horde to Patrilocal Band" dalam Sherry B. Ortner dan Harriet Whitehead (ed.) Sexual Meanings: The Cultural Construction of Gender and Sexuality. Cambridge UK: Cambridge University Press. hal. 36. Essay ini sangatlah penting.
  16. Olga Soffer. 1992. "Social Transformations at the Middle to Upper Paleolithic Transition" dalam Günter Brauer dan Fred H. Smith (ed.) Replacement: Controversies in Homo Sapiens Evolution. Rotterdam: A.A. Balkema. hal. 254.
  17. Juliet Mitchell. 1984. Women: The Longest Revolution. London: Virago Press. hal. 83.
  18. Cucchiari. op.cit.. hal. 62.
  19. Robert Briffault. 1931. The Mothers: the Matriarchal Theory of Social Origins. New York: Macmillan. hal. 159.
  20. Theodore Lidz & Ruth Williams Lidz. 1998. Oedipus in the Stone Age. Madison CT: International Universities Press. hal. 123.
  21. Elena G. Fedorova. 2000. "The Role of Women in Mansi Society" dalam Peter P. Schweitzer pada Megan Biesele dan Robert K. Hitchhock (ed.) Hunters and Gatherers in the Modern World. New York: Berghahn Books. hal. 396.
  22. Steven Harrall. 1997. Human Families. Boulder CO: Westview Press. hal. 89. "Contoh-contoh hubungan antarritual dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat forager tersebar luas,” menurut Stephan Shennan pada "Social Inequality and the Transmission of Cultural Traditions in Forager Societies" dalam Steele and Shennan (ed.). op.cit.. hal. 369.
  23. Gayle Rubin. 1979. "The Traffic in Women" dalam Toward an Anthropology of Women. New York: Monthly Review Press. hal. 176.
  24. Meillasoux. op.cit.. hal 20-21.
  25. Disebut oleh Indra Munshi. 2003. "Women and Forest: A Study of the Warlis of Western India," dalam Govind Kelkar, Dev Nathan dan Pierre Walter (ed.) Gender Relations in Forest Societies in Asia: Patriarchy at Odds. New Delhi: Sage. hal. 268.
  26. Joel W. Martin. 1991. Sacred Revolt: The Muskogees’ Struggle for a New World. Boston: Beacon Press. hal 99, 143.
  27. The production of maize, one of North America’s contributions to domestication, "had a tremendous effect on women’s work and women’s health." Women’s status "was definitely subordinate to that of males in most of the horticultural societies of [what is now] the eastern United States" by the time of first European contact. The reference is from Karen Olsen Bruhns and Karen E. Stothert. 1999. Women in Ancient America. Norman: University of Oklahoma Press. p. 88. Also, for example, Gilda A. Morelli. 1997. "Growing Up Female in a Farmer Community and a Forager Community" in Mary Ellen Mabeck, Alison Galloway and Adrienne Zihlman (ed.). 1997. The Evolving Female. Princeton: Princeton University Press: "Young Efe [Zaire] forager children are growing up in a community where the relationship between men and women is far more egalitarian than is the relationship between farmer men and women" (p. 219). See also Catherine Panter- Brick and Tessa M. Pollard. 1999. "Work and Hormonal Variation in Subsistence and Industrial Contexts" in C. Panter-Brick and C.M. Worthman (ed.). Hormones, Health, and Behavior. Cambridge: Cambridge University Press, in terms of how much more work is done, compared to men, by women who farm vs. those who forage.
  28. The Etoro people of Papua New Guinea have a very similar myth in which Nowali, known for her hunting prowess, bears responsibility for the Etoros’ fall from a state of well-being. Raymond C. Kelly. 1993. Constructing Inequality. Ann Arbour: University of Michigan Press. p. 524.
  29. Jacques Cauvin. 2000. The Birth of the Gods and the Origins of Nature. Cambridge: Cambridge University Press. p. 133.
  30. Carol A. Stabile. 1994. Feminism and the Technological Fix. Manchester: Manchester University Press. p. 5.
  31. Carla Freeman. 2001. "Is Local:Global as Feminine:Masculine? Rethinking the Gender of Globalization"dalam Signs 26.